Darimana
dimulainya sejarah umat manusia? Kita tak tahu persis. Tetapi kita bisa
menandai bahwa manusia bisa menyadari dirinya sebagai manusia ketika ia
mampu mengidentifikasikan dirinya melalui (kerja) berfikir, menemukan
bahasa, mampu membaca dan menulis. Dengan berfikir, membaca dan menulis,
bukan saja kita kian mantap menyadari eksistensi kedirian kita sebagai
manusia. Lebih dari itu, ketiga itu menandai permulaan baru: manusia
melahirkan kemajuan-kemajuan baru. Setiap kemajuan yang lama menjadi
fondasi bagi kemajuan yang baru. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Bagaimana
kemajuan itu terus-menerus menuju kepada tahapan-tahapan kemajuan yang
baru tak lain adalah melestarikan kemajuan yang lama, menyerapnya dan
mempelajarinya dengan membaca. Membaca adalah jalan utama yang ditempuh
orang-orang yang mencintai peradaban dan hendak menghidupkan atau
mengembangkannya. Para filsuf di masa dahulu adalah orang-orang yang
bersetia hati untuk membaca. Mereka menyadari membaca adalah jalan untuk
menemukan pengetahuan. Mereka mencermati berbagai macam apapun,
menyerapnya dan mempelajari. Mereka bahkan membaca dan memikirkan
sesuatu yang terlihat sepele bagi kalangan orang umumnya di masanya. Itu
sebabnya mereka terkadang terlihat lebih cerdas diantara mereka yang
melihat dan menuduhnya sebagai ‘tak waras’.
Membaca adalah jalan
untuk mengerti melawan. Para pendahulu kita, para pejuang, tokoh-tokoh
penting dalam kemerdekaan, adalah orang-orang yang cermat dan setia
dalam membaca. Kemerdekaan tidaklah mula-mula direbut melalui bambu
runcing meskipun pada akhirnya senjata ini berperan penting sebagai alat
pembunuh. Kemerdekaan dimulai dari kegelisahan dan kecermatan membaca
keadaan. Kemerdekaan dimulai dari mengertinya bahwa duduk persoalan
ketimpangan bukan sebagai koderat tuhan melainkan adanya perbudakan.
Kemerdekaan dimulai dari kecermatan membaca pengetahuan bahwa di Eropa
semboyan ‘Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan’ menggema di Perancis
dan terdengar oleh telinga Minke – dalam novel Bumi Manusia(nya)
Pramoedya Ananta Toer, dan dari situlah Minke menggerakkan organisasi
dan penggunaan surat kabar untuk berkoar-koar.
Praktis
kesadaran kemerdekaan dirasakan oleh mereka dengan kesetiaan membaca
dan disebarkanlah lebih luas lagi. Soekarno, Hatta, dan Sjahrir – untuk
menyebut sebagian – adalah orang-orang yang bersetia hati dengan
membaca. Kesadaran pentingnya membaca juga membuatnya tergerak untuk
menulis. Mereka tahu, pada saat kekuasaan begitu gagah dan menindas
apapun, mereka punya ketajaman pikiran. Dari seujung pena, mereka bisa
menjaga ‘marah’ rakyat Indonesia kepada kolonial, ‘cinta’ mereka kepada
tanah pertiwi ini, dan kerelaan mereka untuk mati demi kemerdekaan.
Dan
sekali waktu Soekarno mengatakan: jangan sekali-kali melupakan sejarah
atau dikenal dengan akronim ‘jas merah’. Itu hanya satu ungkapan betapa
kita mesti membaca dan mengingat sejarah. Dari sanalah, kita – generasi
kini – bisa mengambil pelajaran penting dari mereka – generasi masa
lalu.
***
Hari buku nasional adalah wujud kesadaran pada
pentingnya membaca. Buku, kita tahu, adalah tempat bercokolnya
pengetahuan, yang diserap dan ditulis oleh para pemikir. Buku adalah
sehimpun pengetahuan. Semula ia adalah pengetahuan yang berserakan
sebagai gejala atau kenyataan. Melalui kecermatan membaca, menyerap,
memahami dan menuangkannya, sang penulis menjadikannya sehimpun
pengetahuan yang tersusun. Sebuah buku menghimpun banyak informasi
penting. Sebuah buku adalah jendela pengetahuan.
Bagi kita,
membaca buku menjadi begitu penting. Membaca adalah kerja mencermati dan
menyerap segala pemikiran yang tertuang di dalamnya. Melalui buku, kita
memperoleh banyak hal penting. Wawasan dan pengetahuan kita kian
meningkat. Dan yang penting, pengetahuan memberdayakan kita dan
mengarahkan kita menjadi pribadi yang kian bermartabat. Pengetahuan
menempatkan seseorang ke tingkat stasus sosial tertentu di dalam
masyarakat.
Kesadaran ini membawa kita pada orientasi lain yakni perlunya menjaga dan melestarikan tradisi membaca.
Di
Indonesia, jika dicermati jumlah minat baca itu sangat rendah. Sangat
miris. Bahkan sebuah laporan hasil studi “Most Littered Nation In the
World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (Maret
2016), Indonesia disebut sebagai menduduki peringkat ke-60 dari 61
negara soal minat membaca (Kompascom, 29/08/2016). Dengan kata lain,
Indonesia berada di posisi buncit. Untung ini bukan sebuah klasemen
sepak bola, tak bisa kita bayangkan jika itu yang terjadi: Indonesia
harus terdegradasi.
Sebuah
penelitian internasional, Programme for International Student
Assessment (PISA) juga melaporkan temuannya pada tahun 2015 tentang
kemampuan membaca. Menurutnya, kemampuan membaca siswa di Indonesia
menduduki urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei (harianjogjacom,
22/3/2016).
UNESCO dalam sebuah laporannya juga menegaskan
angka-angka yang miris. Lembaga ini menyebut bahwa minat baca masyarakat
Indonesia baru mencapai 0,001 persen. Dengan kata lain, dalam seribu
masyarakat hanya ada satu masyarakat yang memiliki minat baca
(gobekasi.co.id, 19/5/2016).
Comments
Post a Comment